Cerita sebuah
Desember
Sudah satu musim ia tak kembali. Pria itu pergi tepat saat gerimis membasahi galaksi. Bersama para pohon jati yang meranggas aku menunggu. Hingga tak terasa, para bulir hadir kembali dan membasahi kanopi kanopi jendela. Pria itu pergi ribuan mil jauhnya. Hanya sepotong kalimat magis yang mampu membuatku tetap menunggu. Ya, aku masih, dan akan selalu menunggu.
Sudah satu musim ia tak kembali. Pria itu pergi tepat saat gerimis membasahi galaksi. Bersama para pohon jati yang meranggas aku menunggu. Hingga tak terasa, para bulir hadir kembali dan membasahi kanopi kanopi jendela. Pria itu pergi ribuan mil jauhnya. Hanya sepotong kalimat magis yang mampu membuatku tetap menunggu. Ya, aku masih, dan akan selalu menunggu.
“Aku akan kembali.. Untukmu”
Tahukah, Lie ki? Setelah mendengar
ucapmu, aku seperti bocah lima tahun yang dijanjikan oleh ibu untuk sebuah baju
pesta baru. Terus menunggu dan merapal harap semoga janji itu bukan hanya ucap
belaka. Jika nanti aku mendapatkannya aku akan bersorak kegirangan. Namun, jika
aku tak mendapatkannya, mungkin aku
akan menangis. Entahlah.
Semoga para bulir
menyampaikan kecamuk rasa rindu ini padamu.
☂
Aku
menggenggam erat mug putih berisi
coklat panas. Asapnya mengepul di udara dan sesekali masuk ke dalam indra
penciuman. Diluar sana para bulir beramai-ramai menjatuhkan dirinya pada
semesta. Sedangkan para awan sedang bertarung hingga mencipta gemuruh di
angkasa. Mungkin mereka sedang berdebat,
apakah kau akan kembali atau tidak. Lihat, Lie ki, seantero semesta memintamu
kembali.
Drrttt..
Drrtt.. Drrtt..
Getar handphone membuyarkan
lamunku. Aku meletakkan mug di atas
meja disudut ruangan.
kim Lie ki.
Secepat mungkin aku menekan tombol “jawab”
“Hallo,Han Bigyun .”
Suara itu lagi. Suara yang mampu mendamaikan hati. Diam-diam bibir ini melukis
sabit sederhana.
“hallo, Lie ki. Ada apa?”
tanyaku.
“Aku merindukanmu. Dua hari lagi aku kembali ke Indonesia, apa kau bisa
menjemputku di bandara?”
Air yang sedari tadi menggenang di pelupukku tumpah ruah sudah. Aku
menghembuskan napas lega. Akhirnya, para
bulir membawamu kembali.
“Hei, jangan menangis. Bukankah aku sudah menepati janjiku?” Gelak
tawanya terdengar disana.
Akhirnya,
satu musim ini terlewati. Bermuara pada pertemuan pasti. Terimakasih semesta,
kau berhasil membawanya kembali.
Dengan air yang masih mengalir di pipi, aku menjawab tanyanya.
“Baiklah, aku akan menjemputmu.”
Bukankah
menunggu adalah hal yang menyenangkan? Terimakasih semesta. Terimakasih,
Desember.
Teruntuk siapa saja yang
tengah menunggu,
Yakinlah, akan ada saatnya
dimana pertemuan pertemuan itu menjadi nyata.
Salam manis dariku,
0 komentar